Langsung ke konten utama

Amira

 




Oleh: Muhammad Hilman Haeikal* 

Namaku Hifni, Sulton Hifni Ramadhan. Sesuai dengan namaku. Aku lahir di bulan Ramadhan. Namun, aku bingung sedari kecil aku tidak pernah dipanggil dengan nama asliku. Aku biasa dipanggil dengan sebutan Lora. sapaan anak kiai oleh orang Madura. Sejak kecil aku sudah diistimewakan oleh orang-orang di sekitarku, mulai dari makan ada yang menyiapkan, jika aku lewat di kerumunan santri mereka semua pada minggir memberikan jalan kepadaku dengan tangan menyilang membentuk huruf x disertai dengan kepala tertunduk takzim. Aku hanya tersenyum melihat tingkah mereka. Penghormatan yang terlalu berlebihan menurutku. Kadangkala ada yang mencium tanganku. Awal mulanya perlakuan seperti ini tidak masalah bagiku. Akan tetapi, ketika umurku sudah mulai beranjak dewasa, perlakuan seperti ini justru membuatku risih. Aku ingin menjadi seperti anak pada umumnya, bebas pergi ke mana saja seorang diri tanpa ditemani oleh khaddam, atau bermain selayaknya anak biasa, bebas tanpa ada yang mengawasiku. Malah kadang batinku berontak sambil berucap.

Aku bukan anak-anak lagi yang harus diperhatikan oleh semua orang. Aku sudah dewasa!”

Di kalangan pesantren Madura ada tradisi Abekalan Sedere. Perjodohan sesama darah birunya. Putra kiai harus menikah dengan putri kiai pula. Tradisi seperti itu sudah diikuti oleh keluargaku. Hal ini juga terjadi padaku. Ketika aku masih mondok di Pondok Pesantren Al-Falah, salah satu Pondok di Jawa Timur yang terkenal dengan kesalafannya, Ummi sempat nelfon ke asrama tempatku tinggal. Biasanya Ummi itu nelfon jika ada sesuatu yang sangat penting saja, tetapi ada apa Ummi kok nelfon lagi, padahal dua hari sebelumnya sudah nelfon mengabari wafatnya embah.

“Assalamualaikum” aku memulai percakapan.

“Waalaikumsalam, jawab Ummi dengan suara khasnya.

 “Kenapa, Mi, kok nggak kayak biasanya Ummi nelfon lagi?” Aku langsung mengungkapkan rasa penasaranku yang menyeruak di kepalaku.

Sejak kewafatan embahmu, Ummi sama Abi bermusyawarah, kami tidak lagi muda. Abi sudah sepuh dan juga sering sakit-sakitan, dan anak laki-laki Abi satu-satunya hanya kamu. Takutnya ada sesuatu yang tidak kita inginkan terjadi pada Abi dan pesantren ini kosong akan kepengasuhan. Kasihan santri yang sudah terlanjur berharap pada kita, kasihan wali santri yang sudah jauh-jauh memondokkan anaknya ke pesantren kita. Namun, sebelum itu kamu harus menikah dulu biar ketika kamu mengasuh pondok ini kamu ada yang menemani. Abi dan Ummi sudah menyiapkan calon yang pas untukmu. Bahkan Ummi sudah menjodohkan kamu dengannya.” Deg. Hatiku tertekan. Rasa sesak mulai memenuhi hatiku mendengar penjelasan Ummi tadi.

Bukan masalah untuk menjadi pengasuh pondok, tetapi tentang perjodohanku. Menjadi pengasuh pondok memang sebuah amanah yang sangat besar. Tidak ada pilihan lain selain diriku. Aku pun sudah mempersiapkannya sedari awal aku mondok di Pesantren Al-Falah, dan dari keluargaku hanya aku lelakinya. Jadi maklumlah. Beda halnya dengan urusan yang satu ini. Ini urusan hati, urusan cinta, urusan suka sama sekali tidak bisa dipaksakan. Dengan hati yang masih meronta, kupaksakan untuk tenang. Kukontrol perasaanku supaya tidak mengeluarkan kata-kata kasar pada Ummi. Kuberanikan diri untuk bertanya.

“Muslimah mana yang Abi dan Ummi siapkan untuk Hifni?” tanyaku masih disertai dengan perasaan gugup.

“Amira Khansa Zhafira, putri Kiai Hasbullah,jelas Ummi.

“Hah! Aku terperangah setengah tidak percaya. Kenapa harus Amira. Apakah tidak ada wanita lain. Kenapa harus dia.

***

“Akang, lagi mikirin apa sih?” pertanyaan itu membuyarkan lamunanku.

Sambil tersenyum ke arahnya aku berkata,tidak apa-apa, cuma teringat masa lalu.

Sekarang telah duduk di sebelahku wanita cantik, salehah, hafizhah nan bersahaja. Dibalut dengan niqab berwarna hijau toska menambah keanggunan dalam dirinya. Muslimah bercadar adalah idaman setiap orang. Jujur aku penggemar wanita bercadar dan aku pencinta seorang hafizhah. Aku juga tidak memikirkan hal ini sebelumnya. Dengan kehidupanku yang sekarang, serasa hidupku lebih berarti, lebih berwarna. Cinta memang suatu hal yang abstrak. Dan mendoakan adalah cara mencintai yang paling sederhana. Pasca shalat tahajjud selalu kusematkan doa untuk kekasih tercinta. Aku utarakan semua kegundahanku pada Sang Pencipta. Hanya aku dan Dia yang tahu.

Kepengasuhan pondok warisan Abi sudah berjalan sebagaimana biasa. Ada pembenahan di berbagai lini. Periode kepengasuhanku ini tidak lepas dari peran istriku juga. Dia justru orang yang paling banyak menuangkan aspirasi untuk kemajuan pondok ini. Dia Khadijahku tatkala aku dilanda masalah yang menggunung. Dia Aisyahku tatkala aku digandrungi kerinduan yang membuncah. Dia Fatimahku tatkala diriku ditimpa kesusahan yang berkepanjangan. Namun, tatkala agama yang dilecehkan, dia seakan menjadi Cleopatra anggun berada di garda terdepan untuk membela kebenaran. Aku tidak pernah menyangka sebelumnya mempunyai tambatan hati seperti dia. Awalnya hubungan kami tidak direstui oleh kedua belah pihak orang tua kami, mereka tidak merestui hubungan kami mungkin karena satu alasan, karena kami kenal lewat media sosial dan tidak pernah ketemu, walaupun hanya sebatas selayang pandang. Tapi kami yakin hubungan kami tidak pernah dilandaskan pada hubungan yang terlarang oleh syariat. Kami tidak pernah bersentuhan tangan meskipun hanya sekali. Kami tidak pernah bertemu meskipun hanya sebentar. Di balik kesucian hubungan kami, Sang Mahakuasa menjaga hubungan kami sampai pada hubungan halal nan sakral. Hal ini mengingatkanku pada kejadian lima tahun silam tentang perjuanganku dalam menegakkan cinta suci ini.

                                                                        ***

Kisah cintaku yang sangat rumit penuh dengan bongkahan batu yang menghadang. Membuatku percaya bahwa cinta yang suci memang harus diperjuangkan. Jangan hanya pasrah dengan keadaan. Mugkin jika cinta ini tidak diperjuangkan, nasibku tidak akan sedemikian. Entah seperti apa nasibku nanti. Pertunanganku dengan Amira kabarnya sudah tak terbendungkan lagi. Persiapan sudah disiapkan dalam berbagai lini. Mulai dari undangan, sound sistem, semuanya sudah ada yang mengurus. Hanya menunggu hari akad nikah dan itu pun sudah direncanakan dengan baik. Akan tetapi, hatiku masih tidak bisa menerima Amira. Hatiku masih berontak. Aku teringat dengan saat-saat di mana aku melaksankan tugas mengajar wajib dari pondok. Aku ditugaskan di salah satu pondok besar di Bondowoso. Ya, lebih tepatnya di Pondok Pesantren Al-Quran. Pondok yang lebih diminati karena metode menghafal al-Quran serasa dua lembar. Pondok ini diminati banyak orang, terutama oleh santri-santri yang ekonominya menengah ke atas. Selain fasilitas yang mapan, biaya operasionalnya juga tak murah. Aku mengajar pada pagi hari. Untuk masalah kebutuhan sehari-hari, semuanya sudah ditanggung oleh pihak pondok. Jadinya setiap hari aku makan di dalem pengasuh.

Perjalanan tugasku berjalan sebagaimana biasa. Tidak ada aral dan rintangan yang berarti. Semua masalah sudah kutangani dengan bijak. Hingga pada suatu hari, datang mobil Toyota Vellfire hitam memasuki area komplek pondok pesantren. Semua mata santri tertuju padanya. Aku sedari tadi mencari kitab Rahmatul-Ummah. Fiqih lintas mazhab. Tadi malam aku sudah belajar, persiapan untuk mengajar hari ini. Selesai belajar, aku letakkan di atas jendela.

Mataku tertuju pada mobil yang lewat memecah kerumunan santri yang mau berangkat sekolah. Mobil siapa itu? Aku bertanya pada diriku sendiri. Setahuku Kiai Jamal, pengasuh pondok pesantren ini, tidak punya mobil Toyota Vellfire. Tampak dari kaca mobil yang agak gelap seorang wanita yang mengemudi. Aku tidak menghiraukannya. Kugerakkan tanganku untuk menyambar beberapa kitab yang tertata di atas lemari. Ternyata pencarianku nihil. Aku berangkat ke kelas dengan tangan hampa, hanya membawa sebuah absen yang dilapisi map berwaran biru. Aku percepat langkahku untuk masuk agar tidak telat karena jarum jam sudah menunjukkan setengah delapan kurang lima menit. Waktu masuk kelas kurang lima menit lagi. Pasti semua murid sudah menunggu kedatanganku.

“Iiiiiiihhhh” rintihku lirih.

“Kenapa Ustaz?” ternyata ada salah satu murid di belakangku.

“Bilangkan pada Ustaz Syakir, ustaz izin telat. Perut ustaz sakit. Kayaknya maag ustaz kambuh,”  jelasku pada salah satu murid yang sedari tadi memperhatikan tingkahku. Sambil memegang perutku dengan raut muka yang menahan sakit.

Perutku mulai merasakan sakit. Aku lupa dari tadi pagi belum sempat makan apa-apa. Belum ada sepotong makanan yang mengisi perutku. Maagku kambuh. Persediaan obat Promagku juga habis. Jika aku paksakan, aku bisa pingsan di dalam kelas. Ini bisa jadi lebih gawat. Aku paksakan kakiku untuk menyusuri gang-gang kecil menuju dalem Kiai. Di sana biasanya sudah disediakan makanan ala prasmanan. Aku tinggal mengambil apa yang aku mau. Sambil memegang perutku yang tambah lama sakitnya tambah menjadi-jadi. Tanpa pikir panjang aku pergi ke dapur belakang. Biasa tempat makananku disiapkan. Kubuka pintu kayu yang sudah mulai rapuh sambil mengucapkan salam. Alangkah terkejutnya diriku. Ada sepasang laki-laki dan perempuan berkhalwat, bercumbu di tempat biasa aku makan. Sang perempuan langsung menoleh ke arahku dengan raut wajah terkejut oleh suara pintu yang terbuka.

“Amira…” aku sontak kaget. Hatiku seperti tersayat sembilu.

*Facebook: Muhammad Hilman Haeikal

Ig: @haeikalmuhammad

Twitter: HilmanHaeikal

Blogger: suraupesantren.blogspot.com

Komentar

Unknown mengatakan…
artis nya kerren
Anonim mengatakan…
Baguss 🥰
Nisa airun mengatakan…
Ada lanjutannya ust?

Postingan populer dari blog ini

Jangan Rindu

Oleh:@baqirmadani Pernahkah kamu merindu? Ya, barangkali, semua orang yang hidup di dunia ini, juga pernah merasakan rindu. Bagi kita seorang remaja, yang paling kita rindukan pastilah masa-masa kecil yang penuh keceriaan. Saat kita masih suka bemain di bawah rinai hujan, mengejar layangan, omelan ibu karena pulang kemalaman, dan suasana sederhana lainnya. Tentu, sangat salah jika rindu dibilang berat, sehingga Dilan melarang kita untuk merindu. “Jangan rindu, berat. Cukup aku saja.” Kata Dilan dalam novel “Dilan 1990” .  Memang dari dulu orang-orang sering mengaitkan rasa rindu dengan kesedihan, dengan senja, dengan hujan dan hal-hal yang berbau nestapa dan nelangsa. Anggapan yang demikian sangatlah tidak benar. Sobat, sadarkah kamu, bahwa tidak semua rindu selalu mengarah pada penderitaan. Bahkan begitu banyak rindu yang sangat baik untuk kita coba, bahkan mungkin harus kita jaga. Jika rasa itu kita berikan pada orang yang haram untuk dirindukan, pastilah akibatnya membuat kita mera

Restu Rida Orang Tua Ibu Bapak Segalanya

Dia Adalah Menantu Orang Tua Kita Oleh: M Hilman Haeikal “Barang siapa yang menikah, maka dia telah menyempurnakan separuh agamanya. Tinggal bertawakallah kepada Allah untuk menyempurnakan separuh yang lainnya.” (HR. At-Thabrani) Menikah adalah sebuah proses yang sakral. Tatkala undangan sudah tersebar. Tatkala tetamu berdatangan sambil melontarkan senyuman bahagia kepada sang mempelai. Makanan dan minuman tertata rapi di meja berhiaskan bermacam bunga menambah keindahan pemandangan. Lampu warna-warni dihias sedemikian rupa agar terlihat anggun. Pada saat itu pula ada sepasang muslim dan muslimah yang mulai gugup. Hatinya berdebar bukan main. Keringat dingin bercucuran disertai linangan air mata sebagai tanda kebahagiaan yang membuncah tak tertahankan. Hati mereka bergemuruh: bahagia, suka, senang, rindu, semua bercampur aduk menjadi satu. Sejurus kemudian, kata qabiltu nikahaha diucapkan oleh mempelai pria. Sejak saat itu status mereka berubah menjadi pasangan suami-istri, para bidad

Dengan Apa

Entahlah Muhammad Entah dengan apa lagi aku mampu menguraikan rindu terhadapmu Siapa sebenarnya Engkau wahai Muhammad . Dari surau-surau desa Yang kudengar hanyalah syair-syair cinta untukmu Tuhan serta Malaikat-Nyapun bersholawat atasmu . Wahai yang orang-orang sebut Baginda Entah dengan apa lagi aku mampu menguraikan rindu terhadapmu Bila seluruh urat syarafku telah penuh oleh cinta Dan nadiku mendenyutkan namamu . Entah dengan apa lagi aku mampu menguraikan rindu terhadapmu Wahai kekasih yang bunga-bunga bermekaran menyambut kelahiranmu Bila esok air mataku kering dan jasadku sirna Dengan Apa lagi aku mampu menyampaikan mahabbah serta kerinduan ini kepadamu ❤